20 September 2009

Yamaha vs Netbook

Hari ini, Si Crypton Merah, sepeda motor kesayangan yang telah menemaniku selama 7 tahun, sudah bukan milik aku lagi. Problem klasik yang diberi judul "Krisis Global" telah mengantarkan dia ke pemilik baru. Bagaimana tidak, dengan performa yang pas-pasan seperti ini aku harus melepas salah satu dari tiga motor ecrek-ecrekku.



Seorang teman mengatakan, "Jangan ada yang mubazir. Jangan sampai memiliki sesuatu yang tidak terlalu urgent dibutuhkan". Dia kasi contoh, jangan pelihara handphone banyak-banyak.
Benar juga.
Untuk apa memelihara tiga motor, kalau salah satu diantaranya tidak terpakai (sekedar ef ye i: dari tiga motor, aku bawa satu, istriku bawa satu, satu lagi penjaga rumah). Walaupun dipakai secara bergiliran, pasti akan ada biaya tambahan yang dibilang mubazir itu: ganti oli, hidupin tiap hari, mandiin (tiap enam bulan sekali, hehehehe, pas Tumpek Landep, harinya motor), samsat tiap tahun, dan sebagainya.

Harus ada satu motor yang harus dikorbankan (baca: dijual).

Akhirnya pilihan jatuh pada Si Crypton Merah, mengingat modelnya yang paling ketinggalan dibandingkan dua lainnya. Dan satu lagi, resiko cepat rusaknya lebih besar.

Meskipun demikian, sangat berat rasanya untuk melepaskan dia. Mengingat jasa-jasanya yang sangat besar selama ini. Sebut saja, semenjak dibeli pertengahan tahun 2000, si merah telah menemaniku berpacaran bersama mantan pacar (yang kemudian menjadi istriku), jatuh bangun menemaniku saat aku jobless setelah keluar dari pekerjaan, dipakai latihan dan menjadi motor pertama yang bisa dikendarai istriku, semotor berdua dengan istri saat masing-masing bekerja di tempat yang berbeda, ban gembos berkali-kali di tengah jalan (termasuk saat istri hamil tua), rem macet di jalanan sepi (bengang), diledek teman-teman sebagai si kuda merah ferari, dan banyak kisah yang tidak dapat diceritakan satu per satu, telah menghiasi memoriku dengannya.

Pantaslah, begitu si pembeli menyatakan jadi dan menyerahkan uangnya, kuhidupkan kembali mesin motor untuk yang terakhir kali, kubawa berkeliling sesaat, diupacarai dengan banten perpisahan, dan kemudian kupanggil seluruh anggota keluarga untuk mengucapkan salam perpisahan. Pada anak-anakku telah kujelaskan bahwa jasanya sangat besar.
Selamat jalan Merah...
Di malam sebelum tidur, kuingat-ingat lagi nostalgiaku bersamanya.


Trus, bagaimana kelanjutannya?

Krisis global sudah dapat diatasi (baca: dapat uang), tapi ternyata selanjutnya muncul kembali penyakit baru orang kampung dengan kemasan lama: Jiwa Konsumtif.

Bagaimana tidak. Ternyata kita harus percaya bahwa uang di kantong itu bisa meloncat-loncat.

Uang hasil penjualan motor ternyata tidak tenang di kantong.
Kebetulan juga, dari dulu aku ingin sekali memiliki sebuah laptop untuk dipergunakan berbagai keperluan. Uang penjualan motor yang nilainya sekecil itu, kalau dipikir-pikir, belum mencukupi untuk sebuah laptop. Tapi, pucuk dicinta ulam tiba, komputer tipe netbook, kecil, compact, super hemat energi dan super murah, lagi tune in di pasaran. Harganya pun, pazzz dengan uang yang kumiliki dari penjualan motor.

Kubicarakan dengan istriku tentang hal ini (istilahnya: minta approval), kukatakan netbook itu powerful dan murah, dan dengan dalih sangat dibutuhkan oleh istriku untuk "mencari nafkah", akhirnya: APPROVED.

Tinggal menentukan mereknya. Berdasarkan pengalaman teman-teman aku yang sudah memiliki netbook, akhirnya pilihan mengerucut ke dua merek: HP atau Axioo. Merek HP karena branded, Axioo karena speknya mantap dan murah.
HP...? Axioo...? HP...? Axioo...? Kami buka lagi halaman web untuk menemukan lebih detail.

Akhirnya... siang itu juga kami meluncur ke RIMO.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda