20 Maret 2011

Kembali Setelah Puluhan Tahun.

Selalu saja aku merasa terkesan apabila menyaksikan pertunjukan drama tari Arja. Sebuah pementasan yang menurutku begitu mempesona, mempertemukan berbagai talenta seni Bali seperti menari dan menyanyi, juga kepiawaian dalam berbicara, bertutur, melawak, berbahasa Bali lumrah, berbahasa Bali halus, bahkan berbahasa dan menterjemahkan bahasa Kawi. Semua muncul dari tokoh-tokoh utamanya yang mempunyai ciri khas masing -masing: Galuh, Inya, Liku, Desak Rai, Limbur, Mantri Manis, Mantri Buduh, Punta dan Wijil.

Terus terang saja, sedikit tidaknya aku "berasal" dari Arja. Ibu ayahku adalah seniman terkenal di jamannya, dan konon mereka "dipertemukan" di sebuah latihan Arja. Terlebih, ayahku merupakan "little maestro" di berbagai bidang seni, pelatih Arja, yang terkenal di kalangan seniman seantero Bali.

Dan beruntungnya, beliau memberikan nama untukku dari salah satu tarian Bali: Harsawijaya.. "harsawijaya" berarti "kemenangan yang menggembirakan", dan "harsa" sendiri berarti "gembira". Sedangkan nama belakangku, "wirottama" atau "wira uttama", berarti "pahlawan sejati". So Harsa Wirottama berarti "pahlawan sejati yang selalu bergembira"(?) Narsis habis!!

Jadi mungkin karena namaku berasal dari tari Bali, jiwa seni selalu mengalir di dalam darah. Selalu saja aku merasa terkesan saat menyaksikan pertunjukan tari Bali, terlebih Arja dan Tari Legong Keraton yang merupakan turunan dari Arja.

Meskipun aku bukan praktisi seni (menyesal dulu malas belajar seni Bali), namun feeling seniku lumayan bagus. Dan yang terpenting, aku selalu mendapatkan intisari kebaikan dari filosofi seni Bali.


Ibuku konon adalah seorang penari Arja. Aku sering mendengar cerita para orang tua tentang bagaimana beliau menari. Ceritanya lumayan posif, dan kesimpulannya, beliau cukup terkenal. Namun, aku anaknya sama sekali belum pernah menyaksikan dia ngarja. Hanya melihat foto lama kusam saat dia menari jaman dulu. Dan juga, paling-paling aku hanya melihat dan mendengar dia menyanyi/mawirama Bali saja di berbagai acara.

Sampai pada akhirnya kesempatan itu datang, beliau kembali turun gunung menari Arja di Pura Dalem Buruan, saat Piodalan Purnama Kadasa bersama para senior pencinta seni di desaku.

Saat latihan menjelang pentas, aku selalu menemani. Saat menjelang tampil, aku ikut di kamar rias. Dan saat pertunjukan pun aku berada di sana dan melihat antusias masyarakat menyaksikan untuk pertama kalinya sejak puluhan tahun, Arja kembali hadir. Sebuah pertunjukan kelas desa, seadanya, namun metaksu (having spirit)

Sayang sekali, menjelang ibuku tampil, anak gadisku si bungsu yang sejak awal sangat antusias, tertidur tidak kuat begadang hingga larut malam. Dan aku harus segera membopongnya pulang. Dan akhirnya aku tetap tidak dapat menyaksikan ibuku tampil.

Tapi tidak mengapa, tiada penyesalan. Aku sudah terlibat banyak di dalam tim Arja menjelang acara. Dan yang terpenting, darah seniku tidak pernah berhenti, bahkan semakin menggelora. Dia akan tetap terus mengalir, dengan jiwa yang merinding apabila mendengar alunan musik Bali.

Dan yang terpenting pula, darah seni itu juga mengalir ke tubuh anak gadisku, bahkan lebih dahsyat dari aliran darahku sendiri. Aliran darah seninya hampir menyamai aliran darah seni kakeknya. Karena aku tahu, dia punya talenta seni yang luar biasa. Feeling seniku melihat itu!!

Dan, sudah tahu kan nama anak gadisku? Ya, namanya adalah Inya... salah satu tokoh Arja. Adakah pengaruh nama dengan kenyataan, aku tidak tahu. Tapi tanda-tanda itu terlihat jelas.

Mungkin jika suatu saat dia menjadi seniman besar (make a wish!), dia akan merasa beruntung diberi nama itu oleh ayahnya. Dan menulis blog juga.. tentang ayahnya.

1 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

waw...sebuah tulisan yg sangat menarik...touching bgt....cerita simple yg di kemas dgn gaya dan bahasa yg sederhana tapi tidak mengurangi makna mendalam yg mau di sampaikan (sok kayak kritikus beneran aja...)

20 Maret 2011 pukul 16.36  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda