22 Mei 2012

Nyoman Nuarta dan Heroisme Sagung Wah

Semasa hidupnya, sering sekali Ayahku bercerita tentang mantan siswanya, terutama siswa kesayangan yang dianggapnya terbaik. Ayahku dulu adalah salah seorang pengajar di SMA Negeri 1 Tabanan. Salah seorang mantan siswanya yang paling sering beliau ceritakan, adalah seorang murid sederhana, disiplin, penurut dan cerdas asal Desa Tegallinggah, Penebel, Tabanan, bernama I Nyoman Nuarta. Bagaimana Nyoman Nuarta dulu saat masa SMA diceritakan dengan sangat lugas oleh Ayahku.

Saya tidak heran, kenapa Ayah sering bercerita tentang Nyoman Nuarta. Mungkin sekali karena dia sangat bangga, anak didikannya adalah salah satu "orang besar" yang kini dikenal sangat luas di tanah air. Dan Ayah adalah salah satu orang yang ikut andil "melahirkan" beliau.

Seniman I Nyoman Nuarta adalah seniman besar yang telah banyak menghasilkan mahakarya, sebut saja yang fenomenal macam patung Garuda Wisnu Kencana yang sedang dirancang sebagai landmark tertinggi di dunia. Monumen Jalesveva Jayamahe yang juga masuk salah satu tertinggi, hingga karya kontroversial macam Patung Tiga Mojang yang akhirnya harus dibongkar, Patung Inul Darasista, dan sebagainya.

Sudah tidak terhitung banyaknya karya beliau yang sudah diinstalasi di berbagai penjuru tanah air. Jika ingin tahu lebih banyak, mungkin saudara saya I Gede Google bisa membantu, silakan ditanyakan ke dia.

Dan yang saya pikir sangat inspiratif dari Beliau adalah, Bapak Nyoman Nuarta ternyata memiliki kecintaan pada tanah kelahiran yang begitu tinggi. Di usia yang sudah menapak lanjut, beliau menyempatkan diri untuk memberikan sumbangan besar buat tanah kelahirannya Tabanan. Sebuah patung yang indah dan benar-benar mengobarkan semangat patriotisme tinggi, Patung Sagung Wah.

(Foto dokumentasi milik talov.org)

Sosok Sagung Wah sudah sesorang wanita yang terpanggil untuk ikut memanggul senjata mengusir penjajah dari tanah kelahirannya Tabanan. Bahkan, Sagung Wah mengisi masa remajanya dengan memanggul senjata.

Dan Patung Sagung Wah karya Bapak Nyoman Nuarta benar-benar bisa menggambarkan semangat perjuangan Sagung Wah. Sagung Wah digambarkan sedang memegang keris (senjata genggam tradisional Bali) dengan diterbangkan oleh burung Garuda yang gagah.

Benar-benar terasa merinding jika saya melihatnya. Inilah kehebatan Taksu seorang I Nyoman Nuarta. Taksu yang menyebabkan kehadiran patung Sagung Wah memberikan makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Tabanan.

Sebagai catatan, patung yang memiliki bobot sekitar 1,5 ton tersebut sudah tiba di Tabanan pada 11 April 2012 lalu. Finishing pemasangan sudah rampung beberapa hari setelah tiba di Tabanan. Pamelaspasan-nya mencari dewasa ayu, dan dikaitkan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, sebagai simbol semangat kebangkitan pemuda di tanah air untuk menentang dan mengusir penjajah dari Indonesia.

Patung Sagung Wah dipasang menghadap selatan, dengan wajah yang sedikit menoleh ke arah barat, yakni ke arah Pura Luhur Puser Tasik Puser Jagat, yang dahulu adalah jantung Puri Tabanan. Patung setinggi kira-kira sembilan meter dengan bahan tembaga dan kuningan itu, kini menjadi ikon Kabupaten Tabanan dan mempercantik wajah kota Tabanan. Luar biasa!!


Kini, bertambah satu lagi tokoh yang saya kagumi. Dialah sosok Bapak I Nyoman Nuarta, sosok besar yang sangat menginspirasi, sosok yang tetap bersahaja walau sudah terkenal, yang selalu mengabdi pada tanah kelahirannya.






09 Mei 2012

Tutur Tinular, Tak Kan Terlupa


Duh.. Cerita ini tidak akan pernah saya lupakan. Cerita besar luar biasa. Jalan ceritanya begitu indah dan menghanyutkan, selalu dinanti dan didengar oleh hampir semua orang di jamannya. Diperdengarkan pagi-pagi buta saat lagi segar-segarnya. Ke mana pun saya berjalan, hampir di setiap rumah terdengar suara sandiwara ini dari radio masing-masing. Bertepatan pula, kisah ini ada pada masa saya yang paling berbahagia... Masa SMA. Lengkap!!

Btw, ada yang tahu dimana dapatin rekamannya?
 
Tutur Tinular berkisah tentang seorang pemuda Desa Kurawan bernama Arya Kamandanu, putra Mpu Hanggareksa, seorang ahli pembuat senjata kepercayaan Prabu Kertanagara, raja Kerajaan Singhasari. Pemuda lugu ini kemudian saling jatuh hati dengan seorang gadis kembang desa Manguntur bernama Nari Ratih, putri Rakriyan Wuruh, seorang bekas kepala prajurit Kerajaan Singasari. Namun hubungan asmara di antara mereka harus kandas karena ulah kakak kandung Kamandanu sendiri yang bernama Arya Dwipangga.

Kepandaian dan kepiawaian Dwipangga dalam olah sastra membuat Nari Ratih terlena dan mulai melupakan Kamandanu yang polos. Cinta segitiga itu akhirnya berujung pada peristiwa di Candi Walandit, di mana mereka berdua (Arya Dwipangga dan Nari Ratih) yang sedang diburu oleh api gelora asmara saling memadu kasih hingga gadis kembang desa Manguntur itu hamil di luar nikah.

Kegagalan asmara justru membuat Arya Kamandanu lebih serius mendalami ilmu bela diri di bawah bimbingan saudara seperguruan ayahnya yang bernama Mpu Ranubhaya. Berkat kesabaran sang paman dan bakat yang dimilikinya, Kamandanu akhirnya menjadi pendekar muda pilih tanding yang selalu menegakkan kebenaran dilandasi jiwa ksatria.

Kisah Tutur Tinular ini diselingi berbagai peristiwa sejarah, antara lain kedatangan utusan Kaisar Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di negeri Cina, yang meminta Kertanagara sebagai raja di Kerajaan Singhasari menyatakan tunduk dan mengakui kekuasaan bangsa Mongolia. Namun utusan dari Mongolia tersebut malah diusir dan dipermalukan oleh Kertanagara.

Sebelum para utusan kembali ke Mongolia, di sebuah kedai makan terjadilah keributan kecil antara utusan kaisar yang bernama Meng Chi dengan Mpu Ranubhaya, Mpu Ranubhaya berhasil mempermalukan para utusan dan mampu menunjukkan kemahirannya dalam membuat pedang, karena tersinggung dan ketertarikannya terhadap keahlian Mpu Ranubhaya tersebut, kemudian dengan cara yang curang para utusan tersebut berhasil menculik Mpu Ranubhaya dan membawanya turut serta berlayar ke Mongolia, sesampainya di negeri Mongolia di dalam istana Kubilai Khan, Mpu Ranubhaya menciptakan sebuah pedang pusaka bernama Nagapuspa sebagai syarat kebebasan atas dirinya yang telah menjadi tawanan.

Namun pada akhirnya pedang Naga Puspa tersebut malah menjadi ajang konflik dan menjadi rebutan diantara pejabat kerajaan. Akhirnya untuk menyelamatkan pedang Naga Puspa dari tangan-tangan orang berwatak jahat, Mpu Ranubhaya mempercayakan Pedang Nagapuspa tersebut kepada pasangan pendekar suami-istri yang menolongnya, bernama Lo Shi Shan dan Mei Shin di mana keduanya kemudian menjadi pelarian, berlayar dan terdampar di Tanah Jawa dan hidup terlunta-lunta.

Sesampainya di Tanah Jawa pasangan suami istri ini akhirnya bertemu dengan beberapa pendekar jahat anak buah seorang Patih Kerajaan Gelang-gelang bernama Kebo Mundarang yang ingin menguasai Pedang Naga Puspa hingga dalam suatu pertarungan antara Lo Shi Shan dengan Mpu Tong Bajil (pimpinan pendekar-pendekar jahat) Lo Shi Shan terkena Ajian Segoro Geni milik Mpu Tong Bajil, setelah kejadian pertarungan beberapa hari lamanya Pendekar Lo Shi Shan hidup dalam kesakitan hingga akhirnya meninggal di dunia disebuah hutan dalam Candi tua, sebelum meninggal dunia yang kala itu sempat di tolong oleh Arya Kamandanu, Lo Shi Shan menitipkan Mei Shin kepada Arya Kamanadu.

Mei Shin yang sebatang kara kemudian ditolong Arya Kamandanu. Kebersamaan di antara mereka akhirnya menumbuhkan perasaan saling jatuh cinta. Namun lagi-lagi Arya Dwipangga merusak hubungan mereka, dengan cara licik Arya Dwipangga dapat menodai perempuan asal daratan Mongolia itu sampai akhirnya mengandung bayi perempuan yang nantinya diberi nama Ayu Wandira. Namun demikian, meski hatinya hancur, Kamandanu tetap berjiwa besar dan bersedia mengambil perempuan dari Mongolia itu sebagai istrinya.

Saat itu Kerajaan Singhasari telah runtuh akibat pemberontakan Prabu Jayakatwang, bawahan Singhasari yang memimpin Kerajaan Gelang-Gelang. Tokoh ini kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri yang dahulu kala pernah runtuh akibat serangan pendiri Singhasari. Dalam kesempatan itu, Arya Dwipangga yang menaruh dendam akhirnya mengkhianati keluarganya sendiri dengan melaporkan ayahnya selaku pengikut Kertanagara kepada pihak Kadiri dengan tuduhan telah melindungi Mei Shin yang waktu itu menjadi buronan. Mpu Hanggareksa pun tewas oleh serangan para prajurit Kadiri di bawah pimpinan Mpu Tong Bajil. Sebaliknya, Dwipangga si anak durhaka jatuh ke dalam jurang setelah dihajar Kamandanu.

Kemudian Kamandanu kembali berpetualang untuk mencari Mei Shin yang lolos dari maut sambil mengasuh keponakannya, bernama Panji Ketawang, putra antara Arya Dwipangga dengan Nari Ratih.
Petualangan Kamandanu akhirnya membawa dirinya menjadi pengikut Raden Wijaya (Nararya Sanggrama Wijaya), menantu Kertanagara. Tokoh sejarah ini telah mendapat pengampunan dari Jayakatwang dan diizinkan membangun sebuah desa terpencil di hutan Tarik bernama Majapahit. Dalam petualangannya itu, Kamandanu juga berteman dengan seorang pendekar wanita bernama Sakawuni, putri seorang perwira Singhasari bernama Banyak Kapuk.

Nasib Mei Shin sendiri kurang bagus. Setelah melahirkan putri Arya Dwipangga yang diberi nama Ayu Wandira, ia kembali diserang kelompok Mpu Tong Bajil. Beruntung ia tidak kehilangan nyawa dan mendapatkan pertolongan seorang tabib Cina bernama Wong Yin.
Di lain pihak, Arya Kamandanu ikut serta dalam pemberontakan Sanggrama Wijaya demi merebut kembali takhta tanah Jawa dari tangan Jayakatwang. Pemberontakan ini mendapat dukungan Arya Wiraraja dari Sumenep, yang berhasil memanfaatkan pasukan Kerajaan Yuan yang dikirim Kubilai Khan untuk menyerang Kertanagara. Berkat kepandaian diplomasi Wiraraja, pasukan Mongolia itu menjadi sekutu Sanggrama Wijaya dan berbalik menyerang Jayakatwang.

Setelah Kerajaan Kadiri runtuh, Sanggrama Wijaya berbalik menyerang dan mengusir pasukan Mongolia tersebut. Arya Kamandanu juga ikut serta dalam usaha ini. Setelah pasukan Kerajaan Yuan kembali ke negerinya, Sanggrama Wijaya pun meresmikan berdirinya Kerajaan Majapahit. Ia bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardhana.

Kisah Tutur Tinular kembali diwarnai cerita-cerita sejarah, di mana Kamanadanu turut menyaksikan pemberontakan Ranggalawe, Lembu Sora dan Gajah Biru akibat hasutan tokoh licik yang bernama Ramapati. Di samping itu, kisah petualangan tetap menjadi menu utama, antara lain dikisahkan bagaimana Kamandanu menumpas musuh bebuyutannya, yaitu Mpu Tong Bajil, serta menghadapi kakak kandungnya sendiri (Arya Dwipangga) yang muncul kembali dengan kesaktian luar biasa, bergelar Pendekar Syair Berdarah.

Kisah Tutur Tinular berakhir dengan meninggalnya Kertarajasa Jayawardhana, di mana Arya Kamandanu kemudian mengundurkan diri dari Kerajaan Majapahit dengan membawa putranya yang bernama Jambu Nada, hasil perkawinan kedua dengan Sakawuni yang meninggal setelah melahirkan, dalam perjalanan menuju lereng Gunung Arjuna inilah Arya Kamandanu bertemu dengan Gajah Mada yang waktu itu menyelamatkan putranya ketika masih berumur 40 hari yang terjatuh ke jurang karena lepas dari gendongannya akibat terguncang-guncang diatas kuda. Tutur Tinular kemudian berlanjut dengan sandiwara serupa berjudul Mahkota Mayangkara.

Sumber: Wikipedia