17 April 2012

Inya Performing Inya

Dimana pun itu, orang tua akan selalu bangga (dan cenderung membangga-banggakan) setiap gerak-gerik anak bocahnya. Apalagi jika anak-anaknya sedikit menunjukkan kebolehan, kelebihan atau sesuatu yang beda. Hehe.. ternyata saya juga terkena sindrom itu. Setidaknya beberapa hari yang lalu. Anak kedua saya, Inya, membuat saya bangga. Pada kesempatan tampil di sela-sela upacara adat Odalan Purnama Kadasa di kampung halaman, performanya benar-benar memukau.

Tari Legong Keraton yang ditarikannya malam itu merupakan sebuah tari dengan kesulitan tinggi. Sebuah tari yang istimewa, tari klasik dengan berbagai macam gerakan indah dan rumit. Tapi putri saya, Inya, yang notabene masih duduk di bangku taman kanak kanak, bisa menampilkannya dengan cukup bagus dan indah. Setidaknya untuk anak seumuran dia. Kebetulan juga kedua pendampingnya, dua keponakan saya, juga tampil cukup apik. Jadilah secara keseluruhan tarian begitu indah, mengundang decak kagum para penonton.

Tepuk tangan pun diberikan saat mereka menyelesaikan tarian. Dan saya? Bisa sedikit bangga saat beberapa komentar positip berdatangan. Bangga? Mungkin lebih tepatnya ge er, hehehe...


 Terlepas dari itu semua, ada yang paling membuat saya terharu. Telah lama sejak masa kanak-kanak, saya mengagumi Tari Legong Keraton. Saya bahkan "menobatkan" tarian ini sebagai tari Bali terbaik  diantara begitu banyaknya tarian yang saya kenal. Sangat klasik, musiknya indah, disertai suara sendor (lagu) yang sangat mengharukan. Begitu terobsesi dengan tarian ini. 

Nama anak saya sendiri, Inya, adalah salah satu tokoh tari Legong dan drama tari Arja (Inya dikenal juga dengan nama Condong), sudah pernah saya ceritakan sebelumnya di sini. Dan di malam yang sama, bersamaan pula sang nenek (dan pamannya, kaka saya) turun gunung lagi tampil dalam "Legong Keraton versi drama: Arja.




Anak saya kini sudah bisa menarikannya, senang sekali rasanya. Ingin melihat rekamannya? Silakan masuk ke link ini:

[video]

Inya masih kanak-kanak. Masih panjang jalan yang harus dia tempuh untuk menjadi seorang penari yang sempurna. Perlu konsistensi untuk tetap menempatkan dia pada jalur yang benar.

Pertanyaannya, mampukah saya menjaga semangatnya?

09 April 2012

Upacara Tawur Agung Desa Adat Kota Tabanan

Nama upacara ini sangat panjang, sangat susah untuk diingat. Merupakan upacara besar yang sudah berlangsung dua tahap. Tahap pertama diselenggarakan di Pura Dalem Desa Adat Kota Tabanan, September 2011. Dan tahap kedua adalah tujuh bulan kemudian Jumat 6 April 2012 bertempat di Pura Puseh Desa Adat Kota Tabanan.

Upacara Part I saya lupa menuliskannya di blog ini, karena itu saya gabung saja keduanya dalam satu tulisan ini.

Saya tidak tahu persis makna nama upacara yang panjang itu. Saya bukan ahlinya. Yang jelas konon upacara ini diselenggarakan demi tercapainya keseimbangan alam semesta dan menetralkan pengaruh negatif yang ada. Mungkin saja seperti itu, tapi yang saya tahu, kami semua warga adat dengan segenap ketulusan hati, bersuka cita ikut bersama-sama menyukseskan acara ini. Bagi saya, semua jenis upacara, persembahyangan, merupakan wujud bakti kami kepada Tuhan, sekaligus untuk sarana merefresh pikiran agar bisa mengarungi hidup selanjutnya dengan kejernihan hati dan fokus (baca lagi tulisan saya ini: Nyepi: Nang Ning Nung, Tenang Hening Merenung)

Kegiatan berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, baik upacara pertama maupun yang kedua. Tenaga, pikiran, dan dana begitu banyak tercurahkan untuk ini. Beruntunglah Desa Adat kami beranggotakan 23 banjar, sehingga kegiatan (baca: ngayah) bisa dilakukan bergiliran tidak terus menerus. Salah satu kegiatan menjelang upacara adalah Melasti, yang sudah saya tulis kisahnya di artikel lainnya di sini.

Upacara besar ini mencapai puncaknya hari Jumat 06 April 2012 (Purnama Kadasa). Seluruh warga adat hadir. Keluarga kami pun ikut terlibat, termasuk kedua anak saya, Inya dan Ighar yang ikut menyumbangkan tarian di kedua upacara.

Upacara telah usai, kepuasan hati tercapai. Mudah-mudahan makna upacara yang diharapkan sesuai dengan namanya yang panjang, bisa terwujud. Semua untuk kesejahteraan dan kedamaian kita bersama...


Galeri foto














02 April 2012

Melasti Asik Tengah Malam

Dalam rentang dua minggu ini saja, saya harus mengikuti tiga kali upacara melasti. Dua kali diantaranya adalah dalam rangkaian Hari Raya Nyepi. Saya adalah anggota dua desa adat: desa adat tempat saya tinggal saat ini dan desa adat kampung halaman. Jadi kalau menjelang Hari Raya Nyepi ikut dua upacara melasti.


Melasti ketiga adalah hari Minggu lalu, acara melasti yang diselenggarakan Desa Adat Kota Tabanan menjelang sebuah upacara besar. Seperti biasa melasti dilakukan dengan berjalan kaki dari Pura Puseh pusat kota Tabanan menuju pantai Yeh Gangga (kurang lebih dua belas kilometer). Waktunya bukan siang hari, namun malam hari melewati tengah malam dan berakhir pagi. Uniknya, yang bertugas mengarak semua sarana upacara dari start hingga finish dan balik ke titik awal lagi, berganti ganti secara estafet melibatkan 23 banjar adat yang ada.

Ada beberapa titik dimana sebuah banjar menunggu giliran estafet untuk mengambil alih tugas banjar sebelumnya, menyerahkannya ke banjar lain di titik berikutnya, dan menunggu lagi hingga semua prosesi di laut selesai dan balik lagi pulang.
Kali ini, banjar saya bertugas di "etape terakhir" mendekati pantai, sekalian melakukan prosesi upacara sesampainya di pantai.


Melasti konon merupakan upacara penyucian sarana persembahyangan Pura (tempat suci) ke laut atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam. Namun di luar itu, bagi saya melasti adalah acara wisata.

Terutama melasti terakhir. Acara malam memberikan sensasi tersendiri. Menunggu giliran estafet cukup lama menyebabkan kantuk yang teramat sangat. Beberapa rekan menghabiskannya dengan tertidur sejenak dengan posisi yang tidak ideal (duduk atau bersandar), mengobrol, bahkan ada yang bermain kartu. Beruntung kami masih "disupport" makanan yang disediakan banjar, atau menikmati hidangan di warung-warung sekitar yang "rela" buka sampai pagi melayani kami.

Saat tiba giliran kami bertugas (sekitar pukul 05:30) kami sudah siap menjalankannya dengan melupakan mimpi tidur kami sebelumnya, kenikmatan bermain kartu, nikmatnya kopi di warung, dan sebagainya. Prosesi giliran kami pun dilakukan. Kami berjalan melewati sawah-sawah dan merasakan nyamannya udara segar pagi hari di daerah yang dilalui.

Sampai di pantai rangkaian upacara melasti dilakukan hingga pretima dibawa ke tengah laut dengan tiga perahu nelayan. Orang-orang yang lumayan awam dalam hal upacara menunggu dengan setia hingga upacara selesai, sambil menyerbu warung-warung dan kamar kecil terdekat.

Sedangkan saya? Makan yang berlebihan menyebabkan perut terasa sakit. Berkeliling hingga keluar area untuk mendapatkan kamar kecil yang layak, gagal. Beberapa parit dengan air mengalir tersedia di pinggir jalan. Kalau sepi, sungguh ideal jika saya jongkok di situ. Namun apa daya... jalanan sangat ramai dengan orang!!

Nasib, sakit perut ditahan hingga semua prosesi upacara selesai. Sukurlah, pergulatan menantang ini bisa saya menangkan hingga tugas kami selesai dan tiba di rumah masing-masing pukul 10 pagi!!