24 Maret 2011

Sidakarya, Kerja Telah Usai


Barangkali ayah saya sudah tahu, umurnya sudah tidak akan lama lagi. Di saat-saat terakhirnya, beliau semakin aktif menari dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Saya yang saat itu adalah pengangguran, menjadi pengawal setia ayah kemana pun dia mau pergi. Menari, mencari pembuat topeng, mencari tukang wayang, bertemu kenalan sesama seniman, ikut mesanti (metembang Bali) dan sebagainya. Kemana pun. Saya merasa beruntung, saya adalah satu-satunya anak yang selalu berada di sampingnya, menemani beliau di saat-saat akhir hayatnya.

Saya ingat betul, tarian yang aktif ditarikannya di saat-saat terakhir adalah tari topeng Sidakarya.
Sidakarya.. kerja telah usai... Barangkali itu mewakili isi hatinya bahwa dia telah menunaikan tugasnya di dunia. Memastikan semua anaknya akan bisa berdiri sendiri tanpa kehadiran beliau. Memastikan seluruh anak-anaknya telah selesai menunaikan pendidikan. Dan saya sendiri adalah anak terakhirnya yang lulus dari pendidikan perguruan tinggi.

Topeng kesayangan yang baru saja dibuat secara seksama itu dipasupati (diupacari khusus agar metaksu, having spirit). Entah ada hubungannya atau tidak, setiap kali ayah menarikannya, banyak orang yang menonton menjadi histeris terharu dan menangis. Mungkin sedih, karena semua pada tahu kalau orang yang menjadi kecintaan semua orang akan meninggalkan mereka.

Hanya tiga diantara semua koleksi topengnya yang sudah diupacarai. Selain topeng Sidakarya yang saya sebutkan tadi, dua lagi adalah topeng Harsawijaya dan Topeng Tua. Harsawijaya, tidak bisa dipungkiri merupakan tari favorit beliau. Selain merupakan tarian yang halus yang mengisahkan seorang raja, wajah topengnya juga halus, tampan, berwibawa, dan memancarkan cahaya. Tidak heran kalau anaknya kemudian dinamakan Harsa juga. Tampan, berwibawa dan halus.

Satu lagi topeng yang diupacarai adalah Topeng Tua. Merupakan topeng kesayangan ayah, karena saat menari menggunakan topeng ini, beliau berhasil merebut juara tari topeng se Bali. Prestasi puncak formal di bidang tarian yang berhasil diraihnya.

Saat penyakitnya semakin hari semakin menggerogoti, secara mental beliau sudah siap. Namun sebagai manusia, tetap saja berusaha untuk bisa sembuh kembali. Secara medis sudah dilakukan, namun, "secara seni" beliau juga berusaha untuk sembuh. Upaya besarnya untuk sembuh diwujudkan dengan memesan sebuah topeng (tapel) Rangda lengkap, mulai bentuk pahatan wajah yang sempurna hingga rambutnya yang dibuat dari bulu kuda. Saya kurang tahu filosofi kenapa topeng yang dibuat adalah topeng Rangda, yang notabene adalah karakter "jahat", dan kenapa dikaitkan dengan kesembuhan. Namun pada akhirnya saya sedikit tahu. Walaupun biaya pembuatan topeng ini sangat besar, hasilnya begitu memuaskan dan begitu mewah. Dan barulah saya bisa menangkap bahwa kepuasan ayah terhadap sebuah karya seni merupakan obat yang tiada ternilai harganya. Karena itu pula mengapa topeng rangda ini kemudian dinamakan Dewi Mahosadi. Mahosadi, kependekan dari Maha Usadi, berarti "obat yang utama".

Ayah berusaha keras untuk bisa menari menggunakan topeng ini. Saat diundang untuk menari di Puri Ubud, ayah yang rencananya akan berperan sebagai Rangda, saat akan mulai manggung merasa tidak kuat untuk dibebani topeng dengan berat yang lumayan. Akhirnya beliau urung menarikannya, dan hanya menari dengan peran ringan.


Banyak lagi koleksi topeng yang dimiliki beliau, yang masing-masing memiliki kisah tersendiri. Ada sekitar tujuh belas topeng, yang saya masih simpan dengan baik semuanya, hingga sekarang.

Tak lupa, ayah selalu berpesan, siapa saja yang suatu saat meminjam topeng-topeng koleksi beliau jika beliau tiada lagi, asalkan topeng itu dipergunakan untuk seni, pasti akan diijinkan. Asalkan, setelah selesai dipakai dikembalikan lagi kepada keluarga kami.

Sebuah charity yang kelihatan biasa saja, tapi menurut saya sangat luar biasa....


Bersambung ke kisah selanjutnya: "Widyasatra, Knowledge Charity Seorang Ayah"






20 Maret 2011

Kembali Setelah Puluhan Tahun.

Selalu saja aku merasa terkesan apabila menyaksikan pertunjukan drama tari Arja. Sebuah pementasan yang menurutku begitu mempesona, mempertemukan berbagai talenta seni Bali seperti menari dan menyanyi, juga kepiawaian dalam berbicara, bertutur, melawak, berbahasa Bali lumrah, berbahasa Bali halus, bahkan berbahasa dan menterjemahkan bahasa Kawi. Semua muncul dari tokoh-tokoh utamanya yang mempunyai ciri khas masing -masing: Galuh, Inya, Liku, Desak Rai, Limbur, Mantri Manis, Mantri Buduh, Punta dan Wijil.

Terus terang saja, sedikit tidaknya aku "berasal" dari Arja. Ibu ayahku adalah seniman terkenal di jamannya, dan konon mereka "dipertemukan" di sebuah latihan Arja. Terlebih, ayahku merupakan "little maestro" di berbagai bidang seni, pelatih Arja, yang terkenal di kalangan seniman seantero Bali.

Dan beruntungnya, beliau memberikan nama untukku dari salah satu tarian Bali: Harsawijaya.. "harsawijaya" berarti "kemenangan yang menggembirakan", dan "harsa" sendiri berarti "gembira". Sedangkan nama belakangku, "wirottama" atau "wira uttama", berarti "pahlawan sejati". So Harsa Wirottama berarti "pahlawan sejati yang selalu bergembira"(?) Narsis habis!!

Jadi mungkin karena namaku berasal dari tari Bali, jiwa seni selalu mengalir di dalam darah. Selalu saja aku merasa terkesan saat menyaksikan pertunjukan tari Bali, terlebih Arja dan Tari Legong Keraton yang merupakan turunan dari Arja.

Meskipun aku bukan praktisi seni (menyesal dulu malas belajar seni Bali), namun feeling seniku lumayan bagus. Dan yang terpenting, aku selalu mendapatkan intisari kebaikan dari filosofi seni Bali.


Ibuku konon adalah seorang penari Arja. Aku sering mendengar cerita para orang tua tentang bagaimana beliau menari. Ceritanya lumayan posif, dan kesimpulannya, beliau cukup terkenal. Namun, aku anaknya sama sekali belum pernah menyaksikan dia ngarja. Hanya melihat foto lama kusam saat dia menari jaman dulu. Dan juga, paling-paling aku hanya melihat dan mendengar dia menyanyi/mawirama Bali saja di berbagai acara.

Sampai pada akhirnya kesempatan itu datang, beliau kembali turun gunung menari Arja di Pura Dalem Buruan, saat Piodalan Purnama Kadasa bersama para senior pencinta seni di desaku.

Saat latihan menjelang pentas, aku selalu menemani. Saat menjelang tampil, aku ikut di kamar rias. Dan saat pertunjukan pun aku berada di sana dan melihat antusias masyarakat menyaksikan untuk pertama kalinya sejak puluhan tahun, Arja kembali hadir. Sebuah pertunjukan kelas desa, seadanya, namun metaksu (having spirit)

Sayang sekali, menjelang ibuku tampil, anak gadisku si bungsu yang sejak awal sangat antusias, tertidur tidak kuat begadang hingga larut malam. Dan aku harus segera membopongnya pulang. Dan akhirnya aku tetap tidak dapat menyaksikan ibuku tampil.

Tapi tidak mengapa, tiada penyesalan. Aku sudah terlibat banyak di dalam tim Arja menjelang acara. Dan yang terpenting, darah seniku tidak pernah berhenti, bahkan semakin menggelora. Dia akan tetap terus mengalir, dengan jiwa yang merinding apabila mendengar alunan musik Bali.

Dan yang terpenting pula, darah seni itu juga mengalir ke tubuh anak gadisku, bahkan lebih dahsyat dari aliran darahku sendiri. Aliran darah seninya hampir menyamai aliran darah seni kakeknya. Karena aku tahu, dia punya talenta seni yang luar biasa. Feeling seniku melihat itu!!

Dan, sudah tahu kan nama anak gadisku? Ya, namanya adalah Inya... salah satu tokoh Arja. Adakah pengaruh nama dengan kenyataan, aku tidak tahu. Tapi tanda-tanda itu terlihat jelas.

Mungkin jika suatu saat dia menjadi seniman besar (make a wish!), dia akan merasa beruntung diberi nama itu oleh ayahnya. Dan menulis blog juga.. tentang ayahnya.

04 Maret 2011

Nyepi: Nang Ning Nung, Tenang Hening Merenung

Seringkali saya menyimak tulisan atau ceramah yang dibawakan oleh para motivator pengembangan diri macam Mario Teguh atau Gede Prama, motivator bisnis macam Tung Desem Waringin atau Rhenald Kasali, kisah sukses orang-orang terkenal, ilmuwan, seniman, olahragawan, pelatih atau tim olah raga, atau siapa saja di berbagai bidang. Saya juga telah membaca banyak buku-buku best seller, yang semuanya menyajikan kisah sukses atau cara menuju sukses melalui cara pemaparan yang berbeda-beda. Namun dari semua kisah mereka, selalu saya dapatkan benang merah yang sama: bahwa suatu tujuan (atau kesuksesan) di bidang apa pun akan selalu didapatkan secara maksimal jika kita mau bekerja keras dan fokus dalam melaksanakannya.

Fokus atau berkonsentrasi penuh, adalah sebuah kata yang menjadi salah satu kunci utama. Pelatih sepakbola Real Madrid Jose Mourinho, saat setiap kali timnya gagal memetik kemenangan, selalu berkomentar: pemain kehilangan konsentrasi beberapa menit saja dan lawan memanfaatkannya untuk menghukum mereka. Contoh lain, seorang yang bakti kepada Tuhan tidak akan bisa mendapatkan ketenangan sempurna tanpa konsentrasi yang baik. Pembalap dan team Formula 1 harus mengerjakan sesuatunya dengan presisi yang sangat tinggi dalam hitungan mikro, yang mustahil diperoleh tanpa adanya konsentrasi. Dan banyak lagi contoh yang berbeda.

Di kehidupan sehari-hari, saat kita bergulat dengan berbagai macam kegiatan atau peristiwa yang menguras energi, sering kali kita menjadi kehilangan konsentrasi. Kehilangan konsentrasi kadang begitu besarnya sehingga pikiran menjadi tidak terarah lagi. Dan apabila dipadukan dengan himpitan kebutuhan atau permasalahan yang semakin meningkat, kadangkala dapat menimbulkan emosi tinggi yang menyebabkan terjadinya benturan antara satu dengan yang lain. Sudah begitu banyak kisah di negeri ini yang menyajikan peristiwa-peristiwa buruk nan memilukan yang membuat kita prihatin.

Sering kali orang mengatasi kejenuhan, kepenatan, atau kehilangan fokus dan konsentrasi mereka dengan melakukan re-fresh atau menyegarkan kembali pikiran. Sembahyang, rekreasi, mendatangi tempat hiburan, dan sejenisnya merupakan cara-cara yang biasa dilakukan untuk menjadikan pikiran segar kembali. Seperti halnya komputer, apabila suatu aplikasi menjadi semakin lambat, seringkali ini bisa diselesaikan hanya dengan menekan tombol F5 atau Refresh.

Tetua Bali nan bijak sejak jaman dahulu sadar, proses penyegaran pikiran manusia harus dilakukan secara rutin untuk menjaga kestabilan alam Bali dan tercapainya keberhasilan di segala relung kehidupan masyarakat. Maka diambillah momen pergantian tahun Saka sebagai hari untuk melaksanakan “refresh besar” setiap tahunnya, yang sekarang kita kenal sebagai Hari Raya Nyepi.

Hebatnya, proses ini dilakukan secara masif oleh seluruh masyarakat Bali dengan sangat disiplin dan sadar diri hingga kini. Bayangkan, di jaman yang begitu modern seperti sekarang, bagaimana bisa dalam satu hari penuh tidak ada kegiatan apa pun di Bali, hampir tidak ada satu pun kendaraan atau manusia yang melintas di jalan jalan, tidak ada listrik yang menyala, tidak ada suara yang berisik. Sesuatu hal menakjubkan yang bahkan diakui oleh dunia sebagai kearifan lokal yang mampu menurunkan emisi karbondioksida secara signifikan.

Hari Raya Nyepi mengusung konsep utama: TIDAK MELAKUKAN APA PUN. Empat hal utama yang harus dijalankan pada hari tersebut adalah tidak menyalakan api atau cahaya (mati geni), tidak melakukan aktifitas atau pekerjaan (mati karya), tidak melakukan perbuatan bersenang-senang (mati lelanguan), dan diam tidak ke mana-mana (mati lelungaan). Jika semuanya itu tidak boleh dilakukan, maka yang ada hanyalah diam, tenang, gelap, hening, dan kosong. Ini adalah refresh yang sesungguhnya. Di hari tersebut pada akhirnya kita bisa memusatkan pikiran secara penuh kepada Sang Pencipta, merenungkan kembali apa yang telah dilakukan dan apa yang harus diperbaiki ke depan, dan mengembalikan konsentrasi serta energi positif ke dalam tubuh kita.

Benar benar Tenang.. Hening.. Merenung.. Nang.. Ning.. Nung.

Mungkin ini sudah lebih dari sekedar refresh. Melainkan restart!! Merestart jiwa.

Bagaikan komputer, jika semua aplikasi sudah stuck, hang, atau utilisasi prosesor dan memori sudah semakin tinggi, jalan satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah restart. Booting ulang, semua normal kembali dengan performa yang ekselen.

Selamat Hari Raya Nyepi, semoga damai, damai, damai…


NB: Tulisan ini juga sempat dimuat di Kompasiana: http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/04/nyepi-nang-ning-nung-tenang-hening-merenung/

Semarak (Ogoh Ogoh) Nyepi 2011

Nyepi tahun ini aku rayakan di rumah Tabanan, setelah tahun sebelumnya aku sekeluarga merayakannya di kampung Buruan, Penebel. Selain meng"gilir" tempat menyepi, tahun ini anakku Ighar harus mengikuti kegiatan pawai Ogoh Ogoh di Tabanan, so aku mesti mendampinginya berjalan sepanjang rute pawai.

Simak foto-fotonya yukk...


Ighar sebelum berangkat, berpose sama paman, adik, dan sepupu




Ogoh Ogoh yang ikutan pawai


















Dan, jika anda seorang jenius, pasti bisa membedakan ogogh-ogoh dengan aku??





Bonus pic: